Nama Raden Mas Said tentunya sudah sangat akrab di telinga kita. Sebagai sosok pahlawan nasional, namanya banyak diabadikan menjadi nama jalan, termasuk salah satu jalan di Kota Solo.  Selain itu, tentu namanya telah banyak dibahas di kelas dan dalam diskusi-diskusi keilmuan, khususnya sejarah dan budaya.

Raden Mas Said atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I lahir di Kartasura pada tahun  1725 sebagai bagian dari keluarga keraton. Ketika Raden Mas Said berusia 2 tahun, ayahnya yaitu Pangeran Arya Mangkunegara diasingkan ke Sri Lanka karena selalu menentang Belanda. Raden Mas Said kemudian meneruskan perjuangan ayahnya melawan penjajah.

Sejak berusia belasan tahun, Raden Mas Said telah turut membantu perjuangan warga Tionghoa melakukan perlawanan terhadap VOC dan keraton dengan strategi perangnya. Diceritakan dalam pertempuran dengan VOC, Raden Mas Said mengelabuhi pihak lawan seakan-akan pasukan Tionghoa tidak habis-habis. Hal ini adalah siasat beliau yakni pasukannya yang terdiri dari orang Jawa memakai pakaian hitam-hitam sebagaimana pakaian prajurit Tionghoa (Mukhaer, 2021).

Raden Mas Said dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa karena kegaharannya menupas musuh di medan perang. Sambernyawa sendiri adalah nama pedang pusaka Mangkunegaran yang sakti dan tajam. Untuk mengobarkan semangat pasukannya, dia mempunyai semboyan Tiji TibehTiji Tibeh merupakan akronim dari mati siji mati kabeh-mukti siji mukti kabeh, artinya mati satu mati semua makmur satu makmur semua.

Raden Mas Said juga mampu membangun hubungan baik dengan masyarakat. Ketika meninggalkan keraton dan hidup di tengah masyarakat di Kawasan Wonogiri, dia membentuk pasukan perang yang digembleng olehnya sendiri. Ketika dia memimpin peperangan, hubungan baik dengan masayarat memberi dampak positif dalam peperangan gerilya yang dijalankannya. Dia berhasil memobiliasi masyarakat untuk bantuan logistik militer selama terjadi pertempuran.

Raden Mas Said dan Kesenian

Zainuddin Fananie (dalam Nugroho, 2017) menceritakan bahwa Raden Mas Said memiliki korps kesenian yang bertugas memompa semangat. Saat perang, korps ini mengalunkan tembang di atas kuda dan mengiring di belakang pasukan yang tengah bertempur. Tak hanya itu, Raden Mas Said juga seorang pencipta tari. Tarian-tarian yang diciptakan oleh Raden Mas Said merepresentasikan peperangan-peperangan yang dilaluinya. Sifat Raden Mas Said yang terbuka, ulet, beradaptasi dengan ragam budaya dapat dilihat dari tarian-tarian tersebut. Tarian yang diciptakannya mengabadikan tiga peperangan besar. Pertama, tari Bedhaya Mataram Senapaten Anglirmendung. Tarian ini dilatarbelakangi keberhasilan Raden Mas Said mengalahkan pasukan Pangeran Mangkubumi di desa Kasatriyan, sebelah barat daya Ponorogo, tahun 1752. Anglirmendhung berarti bagaikan langit di kala mendung. Kedua, tari Bedhaya Mataram Senapaten Diradameta. Tarian ini menggambarkan peperangan dahsyat di hutan Sitakepyak tahun 1756. Untuk mengenang perlawanan dan jasa 15 prajuritnya yang gugur, Raden Mas Said menciptakan tari Bedhaya Diradhameta yang berarti gajah mengamuk. Ketiga, tari Bedhaya Mataram-Senapaten Sukapratama. Tarian ini menggambarkan pertempuran melawan VOC pada 1757 ketika VOC membakar desa dan merampas harta penduduk Nglaroh sehingga membuat Raden Mas Said murka. Dia melancarkan serangan dadakan ke Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Pasukan VOC kocar-kacir dan melarikan diri ke dalam istana. Keberhasilan tersebut diabadikan dalam tari Bedhaya Sukapratama yang berarti kesukacitaan yang utama. (Nugroho, 2017).

Budaya Sebagai Pengikat Sejarah

Seni tari sejak jaman dahulu telah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia, terlebih di tanah Jawa. Tarian nyatanya tidak sekedar sajian olah gerak yang dipentaskan dalam acara-acara resmi, namun pasti mengandung cerita atau pesan yang ingin disampaikan kepada para penikmat tari. Dalam budaya Jawa sendiri ada banyak tarian dengan berbagai tema, misalnya tema jatuh cinta dalam tari Gambir Anom, tema kasih saya ibu kepada anaknya dalam tari Bondan, ataupun tema kegembiraan yang tergambar dalam tari Gambyong.

Dari beberapa tarian yang menggambarkan pertempuran Raden Mas Said, kita dapat melihat bagaimana seni tari dapat mengikat sejarah. Dari tarian tersebut kita dapat mengetahui kisah sejarah yang melatarbelakanginya. Selain itu, gerakan-gerakan tari juga menggambarkan semangat juang hingga strategi perang yang digunakan.

Hal ini tentu juga termanifestasi dalam produk budaya yang lain, misalnya lagu tradisional maupun upacara-upacara adat. Tidak sekedar bentuk seremonial, upaya melestarikan budaya tradisional juga sekaligus menjaga agar generasi penerus tetap mengenal cerita sejarah, menghargai para pendahulu, dan mengambil pelajaran darinya.

 

Referensi

Mukhaer, Afkar Aristoteles. 2021. “Tari Bedhaya, Jejak Perlawanan Mangkunegara I dalam Geger Pacinan”. https://nationalgeographic.grid.id/read/132666622/tari-bedhaya-jejak-perlawanan-mangkunegara-i-dalam-geger-pacinan?page=all diakses pada 11 Juni 2021 pukul 11.05.

 

Nugroho, Yudi Anugrah. 2017. “Tarian Perang Pangeran Sambernyawa”. https://historia.id/kuno/articles/tarian-perang-pangeran-sambernyawa-v2749/page/1 diakses pada 11 Juni 2021 pukul 10.30